FEI
Sebulan silam,
kau tentu masih ingat,
ketika kepala perusahaan
menugaskan kita berdua ke
luar kota, di atas
kereta yang melaju
entah kenapa tiba-tiba kau ceritakan
tentang kekasihmu, calon suami-mu.
Katamu, ia lima senti
lebih tinggi darimu,
tubuhnya tegap dan
lehernya gempal padat. Mukanya bulat dengan kulit
sedikit gelap. “entah kenapa aku tertarik dengan lelaki blacksweet, ”jelasmu. Aku diam
saja, sesekali menoleh ke jendela memandangi pohon-pohon lari terbirit.
Entah
apa maksudmu mendadak bercerita perihal lelaki-mu. Mungkin sebenarnya kau ingin
mengatakan. “aku mawar
sudah ada yang
punya, jadi kau tidak boleh
terlalu dekat, apalagi
memetiknya. ” Kenapa tidak katakana
terus terang ? Atau kau
sedang memancingku,
menjebakku, mengetes kelakianku ?
ya, siapa tahu.
Tentu lelakimu bahagia bisa mendapatkan
perempuan seperti kau, Fei.
Perempuan energik. Pintar dan
baik hati . baik
? ah,
barangkali aku salah menilai jika kau
perempuan yang baik.
Kau memang ramah, murah senyum,
dan tubuhmu selalu menebar
aroma harum. Di
kantor, kita satu
ruangan, kau perempuan satu-satunya dari tujuh
karyawan termasuk aku. Tetapi kau bisa mengakrabi
semua rekan. tak jarang kau
menawari kawan-kawan kopi sebelum jam istirahat
tiba. Kau memang
cukup nakal. Suka
mencuri waktu diam - diam.
kau
tak pernah tahu jika
rekan – rekan kerja seruangan
kita sering diam - diam membincangkanmu. Dari mulai
pinggulmu, dadamu, senyum-mu. Aku sering hanya
diam dan tersenyum - senyum saja. Aku
memang jarang bicara dan lebih
menutup diri. Dan
payahnya, semua rekan
kerja memaklumi sikap pendiamku
sehingga aku merasa
tenteram dan tak
berpikir untuk mengubahnya.
Termasuk kau, semua rekan akan
bertanya hal yang penting saja kepadaku, khususnya seputar pekerjaan.
Aku
lebih senang mendengar dan jarang
bercerita jika tidak
ditanya. Ketika ada yang
bertanya, aku sering
menjawab seperlunya.
Dan kau, juga yang lainnya seolah menjadi
malas untuk bertanya
banyak hal kepadaku. Mulanya aku juga
seperti rekan - rekan yang lain,
menganggapmu perempuan yang baik,
sebelum kita kembali
ditugaskan keluar kota
untuk ketiga kalinya.
Kadang aku heran,
selalu aja kepala
perusahaan menugaskan kita berdua untuk
pergi
keluar kota. Seolah-olah tangan gaib yang merencanakan ini semua.
Demikianlah, perjalanan selalu saja
menyediakan jeda antara keberangkatan dan kepulangan yang kadang
membosankan dan terasa
sunyi. mungkin dengan maksud membunuh kesunyian,
mempercepat roda kereta sampai tujuan. Diatas kereta
yang melaju, kau memuntahkan
isi hatimu.
Ya, aku tak pernah memintamu bercerita. Selalu kau
sendiri yang memulai.
Tidak adakah orang lain yang bersedia
mendengar keluhmu fei ?
“Ternyata
penampilannya saja yang
tampak dewasa. Gaya pakaiannya
jas dan dasi. Tapi
otak, pikirannya,
sifatnya, masih kekanak-kanakan.” “ Maksudmu dia manja ?”, “dia terlalu posesif, pencuriga,
memang dia cukup uang.
Tapi aku tak
suka sifat borosnya.
Setiap hari isi
smsnya selalu sama, “kamu
lagi ngpain ?
dengan siapa? Aku kangen,
apa kamu juga kangen ?
kenapa waktu berjalan dengan lambat ?
” menghabiskan pulsa saja ! betapa
bosan aku menjawab
pertanyaan yang tidak
kreatif seperti itu.” “itu tandanya dia cinta
sama kamu.”
Tapi
aku tak senang
dengan cara mengungkapannya.
Aku jadi tahu
kalau dia orangnya tidak sabaran. Padahal tinggal
tiga minggu lagi pernikahan kami. Ini
cincinnya, masih kupakai,
dan selalu kutunjukkan
kepadanya setiap kami bertemu, pertanda bahwa aku
masih setia. “kau
diam sejenak, memasukkan ponsel kedalam tas. “Sebelum
kami jauh melangkah, mungkin lebih baik…..”
Tak
boleh kau begitu. Aku lelaki
fei.
Membayangkan diriku berposisi lelakimu, barangkali aku juga seperti itu. Entah
kenapa saat itu aku serius menanggapimu. Kalimatmu meluncur deras. Mati
- matian aku membelah lelakimu, kusalahkan dirimu dan menyalahkannya.
Sampai kemudian kita sama
- sama terdiam. Mata kita
bertemu sejenak sebelum kau menunduk lama. Aku menelan ludah. Benar
kata orang, perempuan yang hendak menikah terlihat lebih segar dan cantik. Sungguh, aku mengakuinya sekarang, setelah mengamatimu
diam-diam. Mungkin kaulah yang
telah membuatku gila, membuat
jantungku sejenak berhenti berdetak. Lalu kita
kembali diam, sampai kau membisikkan
kata yang sebelumnya yang tak
pernah aku duga. Kata
yang terpaku membuatku terpaku terhadap dirimu.